RHOMA IRAMA PATENKAN MUSIK DANGDUT
Raja Dangdut Rhoma Irama tengah mengurus hak paten musik dangdut sebagai musik Indonesia. "Saat ini prosesnya sedang diajukan ke Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Dephukham)," katanya.
Gonjang-ganjing banyaknya karya kesenian asli Indonesia dicuri pihak bangsa lain, mendorong Rhoma buru-buru membuat hak paten musik dangdut. Namun Rhoma juga memberi peluang kepada pihak mana saja yang merasa lebih berhak dengan musik dangdut untuk mengklaim.
"Sebab untuk mendapatkan hak paten musik dangdut ini diperlukan adanya klaim dari satu figur. Nah sebelum ada figure yang mau mengklaim musik dangdut sebagai musik kita, saya maju," kata Ketua Umum Persatuan Artis dan Musisi Melayu (Dangdut) Indonesia (PAMMI). Oleh karenanya, Rhoma menambahkan, jika ada figur lain yang merasa lebih berhak dirinya akan mundur dan mendukung klaim hak paten itu.
Maklumlah, perkembangan musik dangdut selama 30-an tahun belakangan sudah mencapai dunia internasional. Meskipun masih ada perdebatan antara musik dangdut sebagai ambilan dari India dengan perkembangan musik Melayu yang khas di Indonesia. Pada perjalanannya, beberapa negara seperti Jepang, Korea termasuk Amerika telah lama mempelajari musik dangdut. "Saya pikir sudah waktunya karya bangsa ini dicatat dan dipatenkan supaya tidak lagi diklaim pihak asing," tambah Bang Haji.
RHOMA MASIH PRIHATIN TERHADAP DANGDUT
Raja Dangdut Rhoma Irama masih memprihatinkan pertumbuhan musik dangdut yang terancam kehancuran fatal. "Penyebabnya sepele. Sepanjang masyarakat masih menyukai erotisme dalam musik dangdut, maka jangan harap musik itu bisa langgeng. Masyarakat akan muak dengan dangdut," ujar Rhoma di Jakarta, kemarin. Karenanya Rhoma menyarankan, jika ingin melihat dangdut tetap disukai, maka pencinta dangdut harus konsekuen memerangi goyangan erotisme di musik dangdut. Dikemukakannya, tanpa goyang erotis musik dangdut dapat berkembang dengan baik.
Diakui, saat ini perjalanan musik dangdut memang sedang jeblok. Itu disebabkan oleh dua faktor besar, yakni faktor internal dan eksternal. "Sekarang peminat dangdut memang sedang turun, tidak seperti beberapa waktu lalu, ketika tidak ada televisi yang tidak memiliki acara dangdut. Karena itu, kemudian terjadilah euforia dangdut dan banyak penyanyi dangdut yang muncul asal jadi. Ditambah lagi muncul erotisme di dangdut," kata Rhoma. Faktor erotisme ini katanya, membuat penggemar dangdut dari kalangan menengah ke bawah dan kalangan religi yang mendominasi meninggalkan dangdut. Mereka menganggap musik dangdut menjijikan dan mesum.
"Karena itu, selama erotisme masih dominan di dangdut, dangdut tidak akan pernah bangkit lagi. Erotisme di musik dangdut ini sudah keterlaluan. Dia mengancam kelangsungan hidup dangdut, sementara musik rock dan pop hampir tidak ada unsur erotismenya," ujar Rhoma.
Faktor kedua adalah faktor eksternal yang menyangkut sunatullah. Dalam kehidupan selalu ada siklus dominasi. "Kalau dalam sepak bola kesebelasan Brasil tidak selalu juara, dan dalam dunia bulu tangkis Indonesia tidak selalu juara, di musik juga demikian. Dangdut tidak selalu dominan," kata Rhoma.
Sebenarnya, menurut ayah kandung Ridho Rhoma ini, hadirnya Ridho sudah menjadi lokomotif pembangkit dangdut. Tapi sayang, belum diikuti penyanyi dan grup dangdut lainnya.
RHOMA MASIH PRIHATIN TERHADAP DANGDUT
Raja Dangdut Rhoma Irama masih memprihatinkan pertumbuhan musik dangdut yang terancam kehancuran fatal. "Penyebabnya sepele. Sepanjang masyarakat masih menyukai erotisme dalam musik dangdut, maka jangan harap musik itu bisa langgeng. Masyarakat akan muak dengan dangdut," ujar Rhoma di Jakarta, kemarin. Karenanya Rhoma menyarankan, jika ingin melihat dangdut tetap disukai, maka pencinta dangdut harus konsekuen memerangi goyangan erotisme di musik dangdut. Dikemukakannya, tanpa goyang erotis musik dangdut dapat berkembang dengan baik.
Diakui, saat ini perjalanan musik dangdut memang sedang jeblok. Itu disebabkan oleh dua faktor besar, yakni faktor internal dan eksternal. "Sekarang peminat dangdut memang sedang turun, tidak seperti beberapa waktu lalu, ketika tidak ada televisi yang tidak memiliki acara dangdut. Karena itu, kemudian terjadilah euforia dangdut dan banyak penyanyi dangdut yang muncul asal jadi. Ditambah lagi muncul erotisme di dangdut," kata Rhoma. Faktor erotisme ini katanya, membuat penggemar dangdut dari kalangan menengah ke bawah dan kalangan religi yang mendominasi meninggalkan dangdut. Mereka menganggap musik dangdut menjijikan dan mesum.
"Karena itu, selama erotisme masih dominan di dangdut, dangdut tidak akan pernah bangkit lagi. Erotisme di musik dangdut ini sudah keterlaluan. Dia mengancam kelangsungan hidup dangdut, sementara musik rock dan pop hampir tidak ada unsur erotismenya," ujar Rhoma.
Faktor kedua adalah faktor eksternal yang menyangkut sunatullah. Dalam kehidupan selalu ada siklus dominasi. "Kalau dalam sepak bola kesebelasan Brasil tidak selalu juara, dan dalam dunia bulu tangkis Indonesia tidak selalu juara, di musik juga demikian. Dangdut tidak selalu dominan," kata Rhoma.
Sebenarnya, menurut ayah kandung Ridho Rhoma ini, hadirnya Ridho sudah menjadi lokomotif pembangkit dangdut. Tapi sayang, belum diikuti penyanyi dan grup dangdut lainnya.
KORAN ASIA WEEK MENDAULAT RHOMA IRAMA SEBAGAI BINTANG ASIA TENGGARA 1985
Pada penghujung bulan Juli 1985, Rhoma Irama bersama grup Sonetanya menghentak stadium negara Kuala Lumpur, Malaysia. Menurut catatan wartawan Asia Week waktu itu, tak kurang 12 ribu penonton menikmati pertunjukannya. Sebagian besar, kata tulisan itu, adalah warga negara Indonesia yang diperantauan. Meskipun tak sedikit kalangan muda Malaysia terkagum-kagum atas penampilan Rhoma dan Sonetanya.
Asia Week lalu menulis, Rhoma Irama yang saat itu berusia 38 tahun merupakan bintang terbesar Asia Tenggara (The Star of Asean). Pandangan orang tentang musik Melayu yang semula kurang menggigit mengalami perubahan di tangan Rhoma. Accordeon diganti synthesizer, keyboard sekelas penampilan musik hard rock, dan segala pembaharuan lainnya. "Syairnya Rhoma lebih mewakili pandangannya tentang agama," kata tulisan tersebut.
Penampilannya di Malaysia saat itu menjadi catatan sendiri yang memperluas jaringan penggemarnya di luar negeri. Hingga kini, nama Rhoma dan Soneta masih melegenda di negeri jiran yang kini tengah banyak "urusan" dengan bangsa Indonesia itu. Bagaimanapun tak bisa dipungkiri, bahkan di Kesultanan Kedah nama Rhoma Irama begitu harum hingga sejak tahun lalu dilibatkan pada acara-acara penting di negeri itu. Bukan saja di Malaysia, Rhoma juga memiliki penggemar fanatik di Singapura, Brunei dan Negari jiran lainnya.
Amerika boleh punya King of Rock ataupun King of Pop, tapi Indonesia juga tidak kalah karena kita punya Raja Dangdut: Rhoma Irama, Sang Satria Bergitar Legenda.
Sedari kecil, Rhoma sudah menunjukkan musikalitas yang luar biasa. Dia suka melantunkan lagu "No Other Love" kesukaan ibunya. Bahkan konon sewaktu dia masih bersekolah di Tasikmalaya, satu kelas menjadi kosong karena pindah ke kelas lain untuk menyaksikan Rhoma beraksi menyanyi. Bakat musiknya sedikit banyak merupakan warisan dari Ayahnya yang mahir bermain suling dan menyanyikan lagu-lagu Cianjuran. Pamannya, Arifin Ganda, juga turut andil dalam memupuknya dengan memperkenalkan lagu-lagu Jepang saat Rhoma masih kecil.
Salah satu prestasi musiknya yang cukup menonjol saat masih kecil adalah ketika dia menarik perhatian seorang musisi senior pada jaman itu, Bing Slamet, saat membawakan sebuah lagu barat pada pesta di sekolahnya. Karena itulah, pada waktu Rhoma masih duduk di kelas 4 SD, Bing Slamet membawanya untuk tampil pada sebuah pertunjukan di Gedung Serikat Buruh Kereta Api (SBKA).
Sosok kharismatis yang akrab disapa sebagai Bang Haji ini lahir pada 11 Desember 1946 di Tasikmalaya. Putra dari pasangan Raden Burdah Anggawiya dan Tuti Juariah, dia adalah anak kedua dari empat belas bersaudara.
Terlahir dengan nama Irama, pemberian sang ayah yang kagum atas kelompok sandiwara Irama Baru yang pernah menghibur pasukan pimpinan beliau, dia sering dipanggil Oma sedari kecil, dan saat digabungkan dengan gelar Raden dan Haji yang dimilikinya, jadilah nama panggungnya yang dikenal semua kalangan, R. H. Oma Irama, alias Rhoma Irama.
Kecintaan sekaligus keprihatinannya pada musik Orkes Melayu (akar dari musik dangdut) yang termarginalisasi oleh gelombang musik Rock mendorong Rhoma Irama membentuk Soneta Group yang beranggotakan delapan personel pada 11 Desember 1970. Soneta berambisi untuk membuat revolusi musik di mana Orkes Melayu bisa berdiri sejajar dengan jenis musik lainnya.
Bersama Soneta Group, Rhoma sukses merombak citra musik dangdut (orkes melayu), yang tadinya dianggap musik pinggiran menjadi musik yang layak bersaing dengan jenis-jenis musik lainnya. Keseluruhan aspek pertunjukan orkes melayu dirombaknya, mulai dari penggunaan instrumen akustik yang digantinya dengan alat musik elektronik modern, pengeras suara TOA 100 Watt yang diganti dengan sound system stereo berkapasitas 100.000 Watt, pencahayaan dengan petromaks atau lampu pompa digantinya dengan lighting system dengan puluhan ribu Watt, begitu juga dengan koreografi serta penampilan yang lebih enerjik dan dinamis di atas panggung. Kesuksesannya bersama Soneta untuk merevolusi orkes melayu menjadi dangdut itulah yang menyebabkan seorang sosiolog Jepang, Mr. Tanaka, menyatakan Rhoma sebagai "Founder of Dangdut".
Nama dangdut sendiri yang tadinya merupakan cemoohan atas musik orkes melayu berdasarkan suara gendangnya, justru diorbitkan Rhoma Irama pada tahun 1974 dengan menjadikannya sebagai sebuah lagu: Dangdut (yang kini lebih populer dengan nama Terajana). Rhoma juga semakin mengukuhkan predikat dangdut sebagai musik yang bisa diterima semua kalangan lewat lagunya "Viva Dangdut" yang dia ciptakan tahun 1990.
Bersama Soneta Group, Rhoma mewakili musik dangdut dalam konser perdamaian di Istora Senayan, berbagi panggung dengan Ahmad Albar dan God Bless sebagai representatif musik rock. Konser tersebut berhasil mendamaikan perseteruan yang selama itu terjadi antara kubu musik dangdut dan musik rock.
Duetnya dengan Elvy Sukaesih mengantarkan keduanya kepada puncak popularitas. Lagu-lagu mereka seperti "Janda Atau Perawan" dan "Penasaran" masih dikenal hingga saat ini. Bahkan, begitu serasinya duet keduanya, membuat Rhoma mendapat gelar Raja Dangdut, sementara Elvy yang menjadi Ratu Dangdutnya.
Rhoma juga berhasil mewujudkan impiannya untuk berduet bersama penyanyi idolanya sedari kecil, seorang Mahabintang dalam dunia musik India yang telah menjual dua milyar rekaman, Latha Mangeshkar, dan tercantum namanya di Guinness Book of Records.
Sukses mengangkat derajat musik dangdut, Rhoma dan Soneta melanjutkan perjuangan memasuki bidang dakwah dan syiar Islam. Dengan konsep Sound of Moslem, lirik-lirik lagu Soneta senantiasa diisi pesan moral yang sarat nilai-nilai Islami. Rhoma percaya bahwa musik bukanlah sekedar sarana untuk hura-hura belaka, namun merupakan sebuah pertanggungjawaban kepada Tuhan dan manusia, dengan kekuatan untuk mengubah karakter seseorang, bahkan karakter sebuah bangsa.
Rhoma melakukan dakwah Islam tidak hanya lewat musik, tapi juga lewat film-film layar lebar bernuansa musikal yang dibintanginya. Salah satu filmnya yang berjudul "Nada Dan Dakwah" (1991) dengan jelas menggambarkan nafas perjuangan Rhoma.

Lewat "Nada dan Dakwah", Rhoma juga mendapatkan nominasi aktor pemeran utama terbaik untuk FFI 1992.
Pada tahun 1992 juga, Rhoma mendapatkan pengakuan dari dunia musik Amerika, saat majalah Entertainment edisi Februari tahun tersebut mencantumkannya sebagai "Indonesian Rocker". Album berisikan lagu Rhoma mendapat ulasan sebagai alunan musik yang seolah datang dari planet lain, dan mendapatkan predikat A+ yang sangat istimewa.
Terkadang Rhoma berseberangan dengan pemerintah saat melakukan kritik sosial untuk menggugat kebijakan yang dianggapnya kurang sesuai dengan kaidah agama, seperti legalisasi Porkas dan SDSB. Lagu-lagu seperti "Pemilu" dan "Hak Asasi" (1977), "Sumbangan" dan "Judi" (1980), serta "Indonesia" (1982) sarat kritik dan sentilan, sehingga dia sempat diinterogasi pihak militer di era Orde Baru, dan dicekal tampil di TVRI selama 11 tahun lamanya.
Rhoma juga pernah duduk sebagai wakil rakyat dalam DPR. Untuk membuat syiar dan dakwahnya lebih efektif, dia menggandeng partai-partai politik yang punya jalur, jangkauan, serta akses yang luas.
Rhoma juga berpartisipasi aktif dalam menggunakan jalur politik untuk syiar dan dakwah, dengan turut mengusulkan beberapa butir Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUUPP) ke DPR.
Rhoma tidak hanya mencurahkan perhatiannya pada dakwah dan syiar, tapi dia juga peduli dengan nasib sesama musisi, terutama mereka yang berkecimpung dalam dunia Dangdut. Dia mendirikan PAMMI (Persatuan Artis Musik Melayu Dangdut Indonesia) dan menjabat sebagai Ketua Umumnya. Dia juga memimpin pendirian AHDCI (Asosiasi Hak Cipta Musik Dangdut Indonesia) untuk memperjuangkan hak atas pembagian royalti yang lebih baik untuk para pencipta musik Dangdut.

Kepedulian Sang Raja Dangdut akan masalah dan bencana yang menimpa saudara-saudara sebangsanya juga sangat tinggi. Rhoma bersama PAMMI aktif dalam menggalang dana untuk membantu korban gempa dan tsunami di Aceh. Secara pribadi, Rhoma menyumbangkan gitarnya untuk dilelang, dan laku terjual seharga Rp 150 juta, yang kira-kira setara dengan beras 10 truk.
Kiprah dan dedikasi Sang Legenda juga diakui dunia, terbukti dengan gelar Professor Honoris Causa dalam bidang musik yang diterimanya dari dua universitas yang berbeda, yaitu dari Northern California Global University dan dari American University of Hawaii, keduanya dari Amerika.
Pada 16 November 2007, Rhoma menerima penghargaan sebagai 'The South East Asia Superstar Legend' di Singapura. Mengakhiri tahun 2007 ini, Rhoma akan menerima Lifetime Achievement Award pada penyelenggaran perdana Anugrah Musik Indonesia (AMI) Dangdut Awards, yang akan dilangsungkan di Theater Tanah Airku, Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta, pada 23 Desember 2007. Nama Rhoma sendiri akan diabadikan sebagai nama piala untuk 6 kategori permainan instrumen musik Dangdut.
Rhoma telah menciptakan lebih dari 500 lagu Dangdut, dan dia juga memperoleh predikat pencipta lagu Dangdut terlaris.